Taman
Laut Bunaken masih merupakan objek wisata yang paling menarik di Sulut.
Dengan membayar US$ 35 (sekitar Rp 300.000), seorang wisatawan dapat
menikmati keindahan taman laut Bunaken yang memang sangat luar biasa.
Biaya sebesar itu sudah termasuk biaya boat pulang pergi,
menumpang Catamaran (perahu yang sebagian lantainya terbuat dari kaca)
untuk melihat terumbu karang, snorkeling dan makan siang. Bagi
wisatawan yang ingin menyelam, biayanya tentu lebih besar karena harus
menggunakan peralatan selam seperti tabung gas.
Khusus bagi yang ingin menyelam, ada beberapa agen perjalanan yang
menyediakan peralatan untuk menyelam, namun yang ingin menyelam harus
memiliki sertifikat selam. Bagi para pemula, mereka akan didampingi
seorang instruktur.
Khusus bagi wisatawan asing, menyelam, snorkeling atau hanya melihat
terumbu karang menggunakan Catamaran menjadi tujuan utama berkunjung ke
Manado. Mengamati terumbu karang yang berwarna-warni sekaligus melihat
berbagai jenis ikan yang juga berwarna-warni berenang di antara terumbu
karang itu, merupakan perjalanan wisata yang sangat mengasyikkan.
Dengan
menggunakan Catamaran kita seolah mengamati akuarium yang berjalan.
Kita melihat terumbu karang dengan aneka warna, kemudian pada tempat
tertentu ketika Catamaran melintas di atas palung laut yang dangkal
atau yang dalam kegelapan akan muncul segerombolan ikan.
Tapi dalam kegelapan yang berlangsung hanya beberapa menit itu,
karena Catamaran terus berjalan, kita bisa menyaksikan gerombolan ikan
besar dan kecil yang sedang berenang. Bagi yang mengenal berbagai jenis
ikan laut, dapat bercerita kepada rekannya jenis ikan apa saja yang
terlihat sedang berenang.
Ikan-ikan kecil yang warnanya sangat indah, menjadi pemandangan yang
sangat menarik di Bunaken. Semua yang berada dalam pikiran menjadi
hilang menyaksikan keindahan alam di Taman Laut Bunaken yang merupakan
salah satu taman laut terindah di dunia. Kita tidak akan bosan-bosan
melihat pemandangan laut itu, bahkan lupa waktu, jika pemandu wisata
tidak mengingatkan bahwa masih ada objek wisata lainnya yang harus
dikunjungi di Sulut.
Waruga
Bagi wisatawan yang ingin melihat peninggalan zaman dahulu, di Sulut
tepatnya di Desa Sawangan, Kecamatan Air Mandidi, Kabupaten Minahasa
dapat mengunjungi pemakaman nenek moyang (Dato) orang Minahasa.
Kuburan yang terbuat dari batu gunung (domato) yang tingginya
bervariasi antara setengah meter hingga hampir dua meter itu, sekarang
berada di Sawangan setelah dikumpulkan dari berbagai tempat pada tahun
1817. Menurut pemandu wisata yang ada di sana, Mariam, kuburan batu
yang dapat dipindah-pindahkan itu merupakan kuburan keluarga yang
meninggal sekitar 1.200 tahun yang lalu.
Batu yang tingginya hampir dua meter dengan lebar sekitar setengah
meter itu dilobangi. Mayat anggota keluarga yang meninggal dimasukkan
dalam posisi duduk ke dalam lubang, yang sebelumnya dialasi dengan
piring. Dengan demikian mayat tersebut duduk di atas piring. Baru
kemudian ditutup dengan batu yang sebagian diberi ukiran sebagai
keterangan apa pekerjaan dari orang yang dikubur di situ ketika masih
hidup.
Oleh karena itu, ada yang ditandai dengan ukiran kuda dan rusa yang
menjelaskan orang yang dimakamkan di situ selama hidup pekerjaannya
berburu binatang. Ada pula ukiran batu penutup Waruga itu menceritakan
bahwa yang dikubur di dalamnya adalah seorang hakim. Ada juga ukiran
yang menggambarkan orang yang dikubur di situ seorang gembala, bidan
dan berbagai jenis kegiatan lainnya.
Hanya saja, dari 144 Waruga yang terkumpul di sana, baru 31 yang
teridentifikasi Dato siapa yang dikuburkan di situ, walaupun
tulang-belulang mereka sudah tidak ada lagi di dalam kuburan batu itu.
Identifikasi dilakukan dengan melihat catatan atau tulisan yang ada di
bagian luar dan penutup Waruga.
Waruga menjadi kuburan keluarga karena setiap anggota keluarga yang
meninggal, mayatnya dimasukkan ke dalam Waruga yang sama. Hanya saja,
sejak berjangkit penyakit cacar di Sulut pada sekitar tahun 1800,
pemerintah Belanda yang berkuasa pada saat ini melarang dilakukan
penguburan di dalam Waruga, tapi harus dimasukkan ke tanah. Maka sejak
saat itu orang yang meninggal tidak dikuburkan di dalam Waruga.
Lokasi Waruga, yang bersebelahan dengan kuburan umum, tidak terawat,
padahal di tempat itu ditemukan dua pohon kamboja yang dikatakan
penjaga makam sudah berusia lebih dari 100 tahun. Dato yang ada di
dalam Waruga yang telah dapat diidentifikasi antara lain Rorimpandey,
Mantiri dan Tangkudung.
Menurut Mariam, yang dikubur di dalam Waruga tidak hanya orang
Minahasa tetapi juga ada orang Jepang, Spanyol, Belanda, Portugis dan
lain-lain, yang dapat dilihat dari catatan di penutup Waruga. Dari
peninggalan yang didapat di dalam Waruga ada beberapa piring yang
berasal dari Dynasti Ming, Cing dan Sun. Piring-piring itu menjadi
tempat mayat itu duduk di dalam Waruga.
Danau Tondano
Bagi pemandu wisata di Sulut, menyanyikan lagu Di Tepi Danau Tondano yang
dipopulerkan Vivi Sumanti tahun 1970-an seolah menjadi keharusan. Dalam
menceritakan keindahan danau ini, seorang pemandu wisata selalu
menyanyikan satu bait dari lagu tersebut.
Mengunjungi Danau Tondano memang mempunyai keasyikan tersendiri.
Dengan perjalanan sekitar satu jam dari Kota Manado melalui jalan yang
menanjak dan berliku di pegunungan serta hijaunya tanaman palawija,
kita dapat tiba di tepi Tondano yang udaranya sejuk.
Banyak ditemukan restoran di sana, yang umumnya berada di atas
danau. Hidangan yang tersedia juga bermacam-macam, namun yang paling
populer tentu saja ikan mas, mujair dan ikan teri hasil tangkapan atau
penangkaran di Danau Tondano. Ikan-ikan ini dapat dimasak dalam
berbagai variasi. Ikan mas dan mujair biasanya dibakar, digoreng,
diberi sambal rica atau dabu-dabu. Ada juga yang dimasak woku bahkan
menjadi masakan asam. Untuk ikan teri disambal atau dibuat seperti
rempeyek. Jangan lupa memesan kangkung cah atau rebus atau tumis,
karena kangkung dari Danau Tondano ini segar, enak dan batangnya
panjang-panjang, bahkan karena kualitasnya memang bagus sudah diekspor
ke Singapura.
Dalam perjalanan ke Danau Tondano, bagi yang senang makan, dapat
menemukan berbagai restoran yang menyediakan makanan khas Manado. Di
Jakarta kita bisa menemukan berbagai rumah makan Manado dengan nama
Tinoor, maka di Tinoor (jalan antara Manado – Tomohon) sangat banyak
ditemukan restoran Manado yang menyediakan masakan Manado.
Rumah Kayu
Bagi yang ingin memiliki rumah adat Minahasa dari kayu, dapat
memesannya kepada para perajin di Desa Pulutan, Kecamatan Remboken.
Seorang anak perajin, Boy Tendean, bercerita bahwa rumah kayu yang
mereka produksi tidak terbatas dijual di Sulut, tapi pemesanan datang
dari Pulau Jawa dan Sumatera.
Harga di tempat perajin untuk ukuran 10×12 meter sekitar Rp 35
juta-Rp 45 juta, bergantung pada jenis kayunya. Lama pembuatan sebuah
rumah kayu sekitar dua bulan. Khusus untuk daerah sekitar Manado,
mereka siap mengantarkannya ke lokasi dan membangunnya di sana. Biaya
tukang yang akan membangun rumah tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan
perajin. Sedangkan untuk ke luar dari Manado, misalnya ke Pulau Jawa,
biaya pengiriman ditanggung pemesan, termasuk ongkos perjalanan tukang
yang akan mendirikan rumah kayu tersebut.
Berapa jumlah tukang yang dibutuhkan untuk mempersiapkan sebuah
rumah kayu, menurut Boy, antara empat sampai delapan orang. Untuk
pengiriman ke luar pulau sebuah rumah kayu ukuran 10×12 meter biasanya
digunakan dua kontainer ukuran sedang. Mengenai ukuran dan model rumah
kayu yang dibangun semuanya dapat dinegosiasikan antara pembeli dengan
perajin.
Berbagai ukuran, model rumah kayu yang berada di Desa Pulutan
membuat daerah itu memiliki kekhasan sendiri. Banyak orang yang
berkunjung ke sana dan menjadi objek wisata bagi wisatawan. Banyak yang
berkunjung hanya untuk melihat-lihat. “Paling tidak dua rumah bisa kami
jual setahun. Jika tidak ada pemesanan, kami mengerjakan
komponen-komponen rumah yang juga banyak dipesan,” ujar Boy.
Secara turun-temurun, penduduk Desa Pulutan memang bekerja sebagai
perajin rumah kayu. Gaji seorang perajin berkisar Rp 30.000-Rp 40.000
per hari, bergantung pada keahliannya.
Tarsius
Binatang kecil dengan berat 120 gram, tinggi 15 sentimeter, panjang
ekornya 20 sentimeter, dengan muka seperti burung hantu, tubuhnya
seperti tikus dengan kepala bisa digerakkan memutar 180 derajat dikenal
dengan Tarsius (Monyet Mini).
Melihat Tarsius di dalam hutan pada malam hari merupakan salah satu
tawaran bagi wisatawan yang berkunjung ke Sulut. Hanya saja wisata
untuk melihat Tarsius harus pada malam hari karena binatang primata ini
adalah binatang malam. Sekitar pukul 05.00 pagi hari dia akan kembali
ke sarangnya sehingga tidak dapat dilihat lagi.
Menurut pemandu wisata, melihat Tarsius membutuhkan waktu yang
panjang dengan medan yang cukup berat. Apalagi untuk sampai di hutan
tempat Tarsius tersebut diharuskan berjalan kaki sekitar 3 km. Menurut
catatan dari kepustakaan, habitat Tarsius berada di hutan Pulau Lembean
dan Sangihe, Sulawesi Utara.
Namun sekarang, jika hanya ingin menyaksikan Tarsius, dapat dilihat
di Tangkoko Bitung. Seorang penyayang binatang di Bitung menyediakan
lahannya untuk memelihara sekitar 40 jenis binatang, termasuk sepasang
Tarsius dan sepasang babi rusa. Pengunjung dari dekat dapat melihat
sepasang Tarsius yang merupakan binatang primata terkecil di dunia.
Penjaga taman kebun binatang swasta itu, Toku Malohing, mengakui
jumlah binatang yang dipelihara di sana sedikit dibandingkan dengan di
kebun binatang sebenarnya. Walaupun sedikit, biaya yang harus
dikeluarkan setiap hari mencapai Rp 300.000 untuk kebutuhan makan
binatang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar